Tren ‘Marriage is Scary’: Ketakutan Nyata Gen Z atau Cuma Ikut-ikutan Konten FYP?
Tren ‘Marriage is Scary’: Ketakutan Nyata Gen Z atau Cuma Ikut-ikutan Konten FYP?
Jika Anda membuka aplikasi TikTok atau Instagram Reels belakangan ini, kemungkinan besar algoritma akan menyodorkan konten dengan tagar Marriage is Scary. Fenomena ini bukan sekadar tren sesaat. Ribuan video menampilkan curhatan istri yang lelah mengurus rumah tangga sendirian, suami yang melakukan silent treatment, hingga drama mertua yang tak berkesudahan. Konten-konten ini memicu diskusi panas di kolom komentar, terutama di kalangan Gen Z.
Sebagai generasi yang tumbuh di era digital, Gen Z memiliki akses tanpa batas terhadap informasi, termasuk sisi gelap sebuah pernikahan yang dulunya tabu untuk dibicarakan. Namun, pertanyaannya kemudian muncul: Apakah ketakutan ini berlandaskan realitas statistik yang mengkhawatirkan, atau kita hanya sedang terjebak dalam “ruang gema” (echo chamber) algoritma yang memonetisasi trauma orang lain? Mari kita bedah fenomena ini dengan kacamata analis sosial dan gaya hidup.
Anatomi Tren: Apa yang Sebenarnya Kita Tonton?
Sebelum masuk ke analisis psikologis, kita perlu membedah jenis konten apa yang memicu tren Marriage is Scary ini. Berdasarkan pengamatan tren media sosial sepanjang tahun 2024-2025, konten ini terbagi menjadi tiga kategori utama yang paling sering viral (FYP).
1. Weaponized Incompetence (Ketidakmampuan yang Disengaja)
Kategori pertama dan yang paling memancing emosi audiens wanita adalah video yang menunjukkan suami “pura-pura tidak bisa” melakukan pekerjaan rumah tangga dasar. Kita sering melihat video di mana seorang istri harus mengajarkan suaminya cara mengganti popok atau menyalakan mesin cuci, padahal sang suami adalah pria dewasa yang kompeten di kantornya. Narasi visual ini mengirimkan pesan kuat kepada Gen Z: “Menikah berarti mengasuh bayi besar.”
2. Financial Infidelity (Ketidakjujuran Finansial)
Konten jenis kedua menyoroti masalah uang. Cerita tentang suami yang diam-diam terlilit hutang pinjol (pinjaman online) atau istri yang harus menanggung beban ekonomi keluarga sendirian menjadi mimpi buruk bagi generasi yang sangat sadar akan literasi keuangan ini.
3. The “Boy Mom” Syndrome
Drama mertua selalu laku keras. Namun, tren terbaru menyoroti ibu mertua yang obsesif terhadap anak laki-lakinya dan menganggap menantu perempuan sebagai saingan. Bagi Gen Z yang sangat menghargai privasi dan batasan (boundaries), dinamika keluarga seperti ini adalah “neraka” dunia nyata.
Mengapa Gen Z Paling Merasakan Dampaknya?
Mengapa tren Marriage is Scary begitu meresap ke dalam alam bawah sadar Gen Z? Jawabannya bukan karena generasi ini lemah mental, melainkan karena mereka adalah generasi “pemutus rantai” (cycle breakers).
Analisis sosiologis menunjukkan bahwa Gen Z memiliki standar hubungan yang jauh lebih tinggi daripada generasi sebelumnya. Mereka tidak lagi melihat pernikahan sebagai kewajiban sosial atau cara untuk bertahan hidup secara ekonomi. Sebaliknya, mereka memandang pernikahan sebagai kemitraan (partnership). Ketika konten-konten viral tersebut menunjukkan ketimpangan peran gender yang ekstrem, insting bertahan hidup mereka menyala.
Gen Z lebih memilih hidup sendiri (single) dan bahagia daripada harus terjebak dalam hubungan yang menguras energi mental. Mereka menghitung “biaya peluang” (opportunity cost). Jika menikah hanya akan menghambat karier, membatasi kebebasan berekspresi, dan menambah beban mental, maka narasi “Marriage is Scary” menjadi validasi atas pilihan hidup mereka untuk menunda pernikahan.
Peran Algoritma: Memperbesar Rasa Takut?
Di sinilah kita harus bersikap kritis sebagai pengguna media sosial. Kita perlu menyadari bahwa platform seperti TikTok dan Instagram bekerja berdasarkan keterlibatan emosi (emotional engagement). Konten yang memicu rasa marah, takut, atau sedih cenderung mendapatkan lebih banyak komentar dan share daripada konten pernikahan yang bahagia dan adem ayem.
Algoritma membaca ketakutan Anda. Jika Anda berhenti (hovering) selama 3 detik pada video curhatan istri yang diselingkuhi saat hamil, sistem akan menganggap Anda menyukai topik tersebut. Akibatnya, beranda media sosial Anda akan membanjiri Anda dengan ratusan video serupa. Inilah yang menciptakan ilusi bahwa “semua pernikahan itu buruk”.
Padahal, data di lapangan tidak selalu seburuk itu. Masih banyak pasangan yang menjalani hubungan sehat, setara, dan saling mendukung. Sayangnya, kebahagiaan yang stabil jarang menjadi viral karena dianggap “membosankan” oleh standar konten hiburan masa kini. Kita sedang mengonsumsi sampel data yang bias, dan bias inilah yang membentuk persepsi kolektif bahwa pernikahan adalah jebakan batman.
Faktor Ekonomi: Realitas yang Tak Bisa Diabaikan
Selain faktor konten, kita tidak bisa menutup mata bahwa frasa Marriage is Scary juga berakar pada realitas ekonomi yang brutal. Biaya resepsi pernikahan yang tidak masuk akal, harga rumah yang meroket, dan biaya pendidikan anak yang fantastis membuat Gen Z berpikir ulang.
Bagi mereka, menikah bukan hanya soal cinta, tapi soal merger dua perusahaan finansial. Ketakutan akan pasangan yang tidak melek finansial atau menjadi beban ekonomi (sandwich generation) adalah ketakutan yang sangat logis. Mereka melihat orang tua mereka berjuang dengan utang, dan mereka bersumpah untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Solusi: Fokus pada Diri Sendiri Sebelum Berkomitmen
Alih-alih terus-menerus mengonsumsi konten negatif yang membuat paranoid, para ahli menyarankan Gen Z untuk fokus pada pengembangan diri. Membangun fondasi mental dan finansial yang kuat sebelum menikah adalah kunci untuk menghindari skenario horor yang sering kita lihat di media sosial.
Salah satu cara terbaik untuk mengenal diri sendiri dan menguji kemandirian adalah dengan melakukan solo traveling. Melakukan perjalanan sendirian melatih kemampuan pengambilan keputusan dan manajemen emosi. Jika Anda butuh inspirasi destinasi untuk “healing” atau sekadar lari sejenak dari kebisingan tren medsos, Anda bisa mengecek rekomendasi destinasi tenang di situs resmi Indonesia Travel. Menikmati waktu sendiri seringkali memberikan perspektif baru tentang apa yang sebenarnya kita butuhkan dari seorang pasangan kelak.
Perspektif “Penggosip”: Selebriti sebagai Validasi
Bagi sobat Joscafe yang hobi memantau dunia selebriti, tren Marriage is Scary ini mendapatkan bensin tambahan dari maraknya kasus perceraian artis papan atas di tahun 2024-2025. Kita melihat pasangan yang dulunya dielu-elukan sebagai “Couple Goals” tiba-tiba saling bongkar aib di persidangan.
Kasus-kasus ini berfungsi sebagai validasi eksternal. Netizen berpikir, “Jika mereka yang kaya raya, cantik, dan ganteng saja bisa saling menyakiti, apalagi kita yang remahan rempeyek?” Komentar-komentar di akun gosip memperkuat sentimen skeptis terhadap institusi pernikahan. Kekecewaan publik terhadap figur publik yang gagal membina rumah tangga turut menyumbang rasa pesimis kolektif ini.
Mencari Jalan Tengah: Skeptis Boleh, Paranoid Jangan
Lantas, apakah kita harus berhenti percaya pada pernikahan? Tentu tidak. Sebagai analis, saya menyarankan pembaca untuk mengambil sikap “Skeptis yang Sehat”.
- Validasi Perasaan: Wajar jika Anda merasa takut. Itu tandanya Anda menganggap pernikahan sebagai hal yang serius, bukan main-main.
- Saring Konten: Sadari kapan algoritma mulai memengaruhi suasana hati Anda. Jika konten KDRT atau perselingkuhan mulai membuat Anda cemas berlebihan, segera klik “Not Interested” atau lakukan detoks media sosial.
- Diskusi Nyata: Daripada mencari jawaban di kolom komentar TikTok, bicaralah dengan pasangan nyata di sekitar Anda yang memiliki hubungan sehat. Tanyakan resep mereka dalam menghadapi konflik.
Kesimpulan
Tren Marriage is Scary adalah manifestasi dari kecemasan kolektif generasi yang ingin memutus rantai trauma masa lalu, ditambah dengan bumbu algoritma media sosial yang mendramatisir keadaan. Ketakutan itu nyata dan valid, namun tidak boleh menjadi satu-satunya kompas dalam menentukan arah hidup Anda.
Menikah memang menakutkan jika Anda menikah dengan orang yang salah atau menikah karena paksaan sosial. Namun, dengan persiapan mental, kemapanan emosional, dan pemilihan pasangan yang tepat, pernikahan bisa menjadi *support system* terbaik dalam hidup. Jangan biarkan video durasi 60 suterdetik menghancurkan harapan Anda akan masa depan yang bahagia.
Bagaimana menurut Sobat Joscafe? Apakah kalian tim yang takut nikah karena konten medsos, atau justru merasa konten tersebut berlebihan? Tumpahkan pendapat (atau curhatan) kalian di kolom komentar, ya!
Share this content:



Post Comment